Dalam masyarakat Sunda, terdapat sebuah tradisi unik yang masih dilestarikan di beberapa daerah, yaitu menjalankan puasa 15 hari sebelum bulan Ramadan atau di waktu-waktu tertentu dalam kalender Islam. Tradisi ini sering diakhiri dengan pembuatan ketupat, yang menjadi simbol syukur dan kebersamaan.
Makna dan Filosofi Puasa 15 Hari
Tradisi ini umumnya dilakukan sebagai bentuk persiapan batin dan fisik sebelum memasuki bulan suci Ramadan. Dalam ajaran Sunda yang kental dengan nilai Islam dan kearifan lokal, puasa ini diyakini dapat menyucikan diri, melatih kesabaran, serta memperkuat hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.
Puasa 15 hari ini sering dikaitkan dengan puasa sunah yang diajarkan dalam Islam, seperti puasa pertengahan bulan atau puasa menyambut bulan-bulan istimewa. Selain itu, beberapa kalangan masyarakat Sunda juga menjadikannya sebagai bagian dari ritual ngalap berkah (mencari keberkahan) dan ngaruwat diri (membersihkan diri dari energi negatif).
Pembuatan dan Filosofi Ketupat dalam Budaya Sunda
Setelah menyelesaikan puasa 15 hari, masyarakat biasanya menggelar tradisi membuat ketupat. Dalam budaya Sunda, ketupat bukan sekadar makanan, tetapi memiliki makna mendalam:
- Anyaman daun kelapa melambangkan kesalahan dan dosa yang tersusun dalam kehidupan manusia.
- Beras di dalam ketupat melambangkan kesucian setelah menjalani puasa dan introspeksi diri.
- Proses memasak ketupat yang memakan waktu lama menggambarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan dalam mencapai kebersihan lahir dan batin.
Ketupat yang sudah matang biasanya disajikan dengan sayur lodeh, opor ayam, atau sambal goreng. Dalam beberapa komunitas, ketupat ini juga dibagikan kepada sanak saudara dan tetangga sebagai simbol kebersamaan dan rezeki yang harus dibagi.
Pelestarian Tradisi di Tengah Modernisasi
Meskipun zaman terus berubah, tradisi puasa 15 hari dan pembuatan ketupat masih dipertahankan oleh beberapa keluarga Sunda, terutama di pedesaan. Generasi muda pun diajak untuk memahami nilai-nilai di balik tradisi ini agar tidak hilang ditelan waktu.
“Tradisi ini bukan sekadar soal makanan, tapi juga soal kebersamaan, spiritualitas, dan kearifan lokal yang harus dijaga,” kata Mang Asep, seorang tokoh masyarakat di Garut.
Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Sunda menunjukkan bahwa budaya dan agama dapat berjalan beriringan, menciptakan harmoni, dan memperkuat nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.